Selasa, 03 April 2012

"MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI" Sebagai Slogan Berunsur Politik Etis

Berawal dari langkah saya pada waktu itu dari Fakultas Adab dan Ilmu Budaya yang akan menuju ke sebuah tempat fotokopi. Saya mendapati seorang nenek tua berpakaian compang-camping sedang meminta-minta dengan segenggam gelas plastik kecil bekas minuman. Pemandangan itu saya jumpai di sebelah timur gedung Poliklinik UIN Sunan Kalijaga pada hari jum’at 30 Maret 2012 kemarin.
Saat itu saya tidak begitu merespon tentang situsi seperti itu. Setelah beberapa langkah saya mulai jauh dari nenek yang meminta-minta itu, entah bagaimana tiba-tiba fikiranku terbayang yang telah saya lewati tadi. Sekitar beberapa meter setelah melewati nenek pengemis itu saya menolehkan kepala kebelakang dan merasa prihatin dengan keadaan semacam itu. Saya memperhatikan beberapa mahasiswa lain yang juga tengah lewat di depannya tidak juga memberikan sedikit uang atau makanan kepada pengemis itu. Entah mereka memang tidak sedang membawa sedikit bekal atau uang ataukah memang tidak sedang ingin sedikit berbagi, yang jelas mereka cuma melewati begitu saja. Tak lainpun juga saya sendiri. Karena saya pun pada watu itu juga tidak sedang mengenggam uang kecil.
 

 Foto ini diambil langsung pada hari Jum’at 30 Maret 2012

antara pukul 11.00-11.15 WIB di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak lama saya memperhatikan kondisi yang saat itu sedang lumayan ramai dengan lalu-lalang mahasiswa yang melewati jalanan kecil di sebelah timur gedung Poliklinik itu. Saya segera meneruskan langkah saya meninggalkan pengemis itu secepatnya menuju tempat fotokopi karena desakan tugas-tugas yang menumpuk. Sesamapai di tempat fotokopi saya teringat lagi dengan apa yang telah saya lihat tadi. Sambil menunggu pelayan fotokopi yang sedang sibuk menyelesaikan tugasnya, saya menyesal sendiri karena tidak mengabadikan peristiwa saat itu. Saya menjadi amat prihatin dengan kondisi semacam itu. Dimana nenek tua berjilbab memakai topi dan baju kotor compang-camping sedang mengurai nasib di kampus kami dengan sedikit harapan iba dari para teman-teman mahasiswa. Dia duduk beralaskan tanah yang sedikit di lapisi rimput dengan kondisi yang terlihat lemas.

Berbekal handphone (HP) seadanya yang setia bersembunyi di kantong saku baju saya, segera saya tinggalkan tempat fotokopi itu seuasi beres keperluan saya. Dengan sedikit langkah cepat saya segera menuju kembali ke tempat kejadian perkara (TKP) tadi. Dan ternyata nenek tua yang sedang meminta-minta itu ternyata masih setia mengharap belas kasih dari para teman-teman mahasiswa yang lewat. Saya mencoba mengabadiakan peristiwa itu dengan kamera handphone seadanya. Sempat saya memotret tiga kali lantas saya segera meninggalkan nenek pengemis itu kembali.
Saya segera melangkah pergi dan semakin jauh dari tempat kejadin itu. Sejenak dalam langkah saya terselip pikiran apa yang sedang dilakukan para petinggi dan pengasa negeri ini. Sejenak saya konsentrasi dengan apa yang sudah saya lihat tadi. Saya sedikit melamun dalam langkah saya. Lantas saya mulai teringat dengan baliho, pamflet yang banyak tersebar di perempatan lampu merah di Yogyakarta. Dengan tulisan yang entah itu bisa dikatakan membela rakyat atau malah menyengsarakan rakyat. Banyak kita jumpai tulisan-tuisan “MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI”. Lalu kita seolah diperintahkan untuk membiarkan pengemis jalanan dan menyumbangkan sedikit uang kita pada lembaga, biro atau rumah penampungan dana bagi para orang-orang miskin.
Jika saya fikirkan, kebijakan dan harapan pemerintah penguasa agar kita membiarkan pengemis jalanan itu tidak memegang uang (dalam hal ini kita dilarang memberi) itu adalah politik etis belaka yang belakangan ini diterapkan pada sistem pemerinahan. Jika pemerintah dan para elit politik setuju dan bahkan dengan gencar-gencarnya memasang baliho bertuliskan “MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI” yang banyak di pasang di perempatan jalan, maka apa yang sudah mereka lakukan selama ini untuk memberdayakan para pengemis? Para elite pemerintah hanya memanfaatkan kesempatan itu hanya untuk mempercantik diri, mempercantik tata lingjungan kota tetapi tidak memikirkan solusi lanjut supaya hal ini terjadi secara balance.
Maka dengan itu, sama saja halnya terhadap lingkungan yang lain. Sebagai dampak dari kebijakan itu tentu bisa saja mereka (para pengemis dan gelandangan) mencari tempat perlindungan lain yang dirasa masih cocok untuk mengambil belas kasih orang lain. Seperti halnya nenek-nenek pengemis yang sempat saya foto diatas yang sedang mengadu nasip pada para mahasiswa yang lalu-lalang di depannya. Bukan tiak mungkin para pengemis yang masuk dalam area kampus sekalipun merasa tempat itu lebih cocok untuk meminta-minta. Dan hal itu sama saja nasibnya saat ia meminta-minta di jalanan umum. Toh, juga tata kehidupannya sama saja tidak mengalami perubahan. Dan itu jika masih berlanjut pasti akan beralih berurusan dengan pihak kampus dan keamanan nya. Dengan itu mereka pasti akan mencari tepat lain yang tidak akan merubah nasibnya.
Dan apabila kebijakan pemerintah untuk mempercantik diri dan mempercantik tata lingkungan kota dengan baik tanpa merugikan pihak yang lain, sudah pasti akan mencarikan solusi dengan baik dan benar. Solusipun sudah ditemukan dan diadakan. Namun apakah selama ini sudah berjalan dengan semestinya? Saya rasa tidak. Karena walaupun dipandang orang daerah perkotaan dan jalanan yang minim dengan pengemis tampak tertib, tetap saja di daerah pinggiran masih banyak pengemis.
Dan selogan-selogan “MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI” itu apa gunyanya? Hanya untuk memberikan kenyamanan para pengguna jalan yang juga para orang-orang elit? Lalu dana-dana sumbangan yang mereka anjurkan untuk disalurkan kepada yang berwenang itu buat apa? Pasti ada kong-kalikong dibalik itu semua. Mereka (para pemerintah) seharunya tanggap dengan apa yang mereka lakukan. Bukan hanya untuk kepentingan tata kota saja tapi juga harus mementingkan bagaimana nasib mereka (para pengemis) yang terlantur-lantur akibat tidak adanya orang yang berbelas kasihan karena fikiran mereka yang telah teracuni oleh selogan para pejabat elit itu.
Memang jika dianggap benar, ya memang benar bila tata kota, lingkungan, dan perempatan jalan nampak lebih indah dan tertib bila tanpa Pengemis dan Gepeng. Akan  tetapi kebijakan pemerintah yang hanya berpandang dari segi lingkungan semata tanpa memikirkan sosuli yang baik bagi para Gepeng dan Pegemis itu ya sama saja hasilnya “nol”. Maka sudah selayaknya para pemerintah juga menyediakan sarana pemberdayaan para Gepeng dan Pengemis jika mereka ingin para pengemis tidak lagi mengganggu ketertiban lalu-lintas.
Jadi buat apa selogan itu tetap diaadakan bila tidak adanya keseimbangan kebijakan? Tidak adanya sarana pelatihan dan pemberdayaan bagi para Gepeng dan Pengemis serta tidak ada kejelasan dana sumbangan yang sudah mengalir di lembaga yang berwenag tetap saja akan membuat para Gepeng dan Pengemis merasa sengsara. Dan lagi-lagi indikasi penyalah gunaan dana yang di pegang pemerintah yang akan dipertanyakan.
Oleh :
Chafid Masrur Afida
Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan KalijagaYogyakarta

1 komentar:

  1. Tulisannya bagus,tp kesimpulannya terlalu prematur. Tetap semangat menulis, perbanyak data+membaca :)
    Sukses!

    BalasHapus