Selasa, 03 April 2012

"SEKATEN" Sebagai Khazanah Kulturasi Islam Jawa

Assalamu’alaikum,  jumpa lagi kawan-kawan semua bersama saya. Setelah sekian lama saya tidak atau jarang posting mengenai apa yang ingin saya obrolkan, maka kali ini saya hadir kembali untuk sekedar berdiskusi dengan kawan-kawan pembaca sekalian. Hal ini saya harapkan dapat saling membagi pengetahuan dan informasi sekaligus ilmu yang bermanfaat di antara kita semua. Karena apalah gunanya media secanggih ini bila tidak sebaik mungkin kita gunakan oleh hal yang bermanfaat. Oke, langsung saja saya disini memuali pembahasan tentang apa yang ingin saya sampaikan kepada kawan-kawa pembaca sekalian.
Dalam hal ini saya ingin berbicara dan sekedar berbagi ilmu dengan kawan-kawan semua atas apa yang telah saya punyai. Berbicara mengenai kebudayaan yang selama ini saya banggakan dan saya merasa mempunyai perhatian yang lebih akan hal semacam ini. Dimana saya ingin mengajak kawan-kawan dalam menganalisis seputar sejarah yang dengan ini saya mengambil pembahasan seputar budaya “Sekaten” yang ada di sekitar kita khususnya dalam kebudayaan jawa.
Ternyata, sepengatahuan saya dan menurut berbagai literatur yang saya ketahui dan pernah saya baca. Kata “Sekaten” itu berasal dari kata “Syahadatain”. Namun hal itu adalah slah satu asal kata dari berbagai fersi yang pernah saya baca. Sebenarnya kata “Sekaten” itu menurut para peneliti dan sejarawan yang tercantum dalam karya tulis mereka dikatakan sekaten itu tidak hanya dari kata “Syahadatain”. Akan tetapi juga berasal dari kata “Sekati” dan kata “Sesak ati”. Yang berarti “Sekati” itu berarti sebuah alat pemukul semacam gong yang biasa digunakan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton. Sedangkan “Sesak ati” adalah sebuah kesedihan dari putri Nabi Muhammad SAW atas meninggalnya putrinya. Dan ini dikaitkan dengan kesedihan Prabu Brawijaya sewaktu mendengar gamelan Kyai Sekar Delima yang menyayat hati.
Namun kali ini saya hanya sekedar fokus pada kata “Syahadatain” saja sebagai salah satu pendapat bahwa kata ini adalah cikal bakal kata “Sekaten”. Sekaten adalah sebuah tradisi yang sekarang ini masih eksis dalam upacara-upacara besar tradisional mayarakat jawa. Bahkan sampai sekarang ini masih sering berlangsung di Yogyakarta setiap tahunya. Dalam sebuah literatur dan sumber yang pernah saya baca, dulu ada sebuah upacara besar keagamaan yang pada waktu itu masih bercorak Hindu Budha. Dan upacara itu dinamakan Kurban Raja.
Oleh kerajaan demak pada waktu itu yang sudah beraliran islam ingin merubah tradisi dan kebiasaan rakyatnya agar segera mungkin cara hidupnya diislamkan. Dengan berbagai gejolak dan pemikiran serta strategi yang amat lama maka, oleh para wali Sembilan Sultan Demak di perbolehkan meyelenggarakan tradisi rakyatnya asalkan disesuaikan dengan adat dan syari’at islam. Do’a-do’a yang biasaya di gunakan dalam acara korban raja segera di sesuaikan dengan do’a-do;a yang bercorak islami. Pun juga demikian nama Kurban Raja di rubah menjadi “Sekaten” dengan mengandung makna “Syahadatain”. Sebagai bekal dakwah agar masyarakatnya masuk islam.
Setelah sekian lama berlanjut, kemudian setelah Raja Kesultanan Demak meninggal maka kepemimpinannya digantikan oleh menantunya Jaka Tingkir yang pada akhirnya mendirikan kerajaan sendiri di derah Pajang. Demikian seterusnya hingga sampai pada tradisi adat dalam keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Untuk detailnya masalah perjalanan Demak ke Pajang lalu berlanjut sampai ke Yogyakarta yang hubungannya erat dengan asal usul kata “Sekaten” saya jujur dalam hal ini belum bisa secara detail mengungakapkannya. Ini hanya sekedar informasi yang saya dapatkan dari Jurnal terbitan fakutas saya.
Jadi pada intinya kata “Sekaten” yang banyak digunakan dalam perayaan dan upacara besar keagamaan yang ada di Jawa, itu adalah hasil akultrasi budaya untuk mengislamkan penduduk Demak pada waktu itu. Dan akhirnya meluas hingga ke berbagai pelosok sampai sekarang. Dengan keluesan dakwah akhirya adat dan kebiasaan masyarakat Hindu-Jawa pada waktu itu dapat berubah menjai unsur keislaman. Namun tetap jati diri dan identias budaya tetap bertahan sampai sekarang. Hingga lahirlah budaya dan tradisi Islam Kejawen yang tetap memegang teguh syariah islam. Alangkah bijaksananya dan cerdasnya Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan islam untuk mendakwahkan islam di tanah Jawa. Sehingga masyarakat jawa dengan senang hati tanpa adanya unsur kekerasan menjadikan jawa islam. Subhanallah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar