Assalamu’alaikum,
jumpa lagi kawan-kawan semua bersama saya. Setelah sekian lama saya
tidak atau jarang posting mengenai apa yang ingin saya obrolkan, maka kali ini
saya hadir kembali untuk sekedar berdiskusi dengan kawan-kawan pembaca
sekalian. Hal ini saya harapkan dapat saling membagi pengetahuan dan informasi
sekaligus ilmu yang bermanfaat di antara kita semua. Karena apalah gunanya
media secanggih ini bila tidak sebaik mungkin kita gunakan oleh hal yang
bermanfaat. Oke, langsung saja saya disini memuali pembahasan tentang apa yang
ingin saya sampaikan kepada kawan-kawa pembaca sekalian.
Dalam hal ini saya ingin berbicara dan sekedar berbagi
ilmu dengan kawan-kawan semua atas apa yang telah saya punyai. Berbicara
mengenai kebudayaan yang selama ini saya banggakan dan saya merasa mempunyai
perhatian yang lebih akan hal semacam ini. Dimana saya ingin mengajak
kawan-kawan dalam menganalisis seputar sejarah yang dengan ini saya mengambil
pembahasan seputar budaya “Sekaten” yang
ada di sekitar kita khususnya dalam kebudayaan jawa.
Ternyata, sepengatahuan saya dan menurut berbagai
literatur yang saya ketahui dan pernah saya baca. Kata “Sekaten” itu berasal dari kata “Syahadatain”.
Namun hal itu adalah slah satu asal kata dari berbagai fersi yang pernah saya baca.
Sebenarnya kata “Sekaten” itu menurut
para peneliti dan sejarawan yang tercantum dalam karya tulis mereka dikatakan
sekaten itu tidak hanya dari kata “Syahadatain”.
Akan tetapi juga berasal dari kata “Sekati”
dan kata “Sesak ati”. Yang berarti “Sekati”
itu berarti sebuah alat pemukul semacam gong
yang biasa digunakan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton.
Sedangkan “Sesak ati” adalah sebuah kesedihan dari putri Nabi Muhammad SAW atas
meninggalnya putrinya. Dan ini dikaitkan dengan kesedihan Prabu Brawijaya
sewaktu mendengar gamelan Kyai Sekar Delima yang menyayat hati.
Namun kali ini saya hanya sekedar fokus pada kata “Syahadatain” saja sebagai salah satu
pendapat bahwa kata ini adalah cikal bakal kata “Sekaten”. Sekaten adalah sebuah tradisi yang sekarang ini masih
eksis dalam upacara-upacara besar tradisional mayarakat jawa. Bahkan sampai
sekarang ini masih sering berlangsung di Yogyakarta setiap tahunya. Dalam
sebuah literatur dan sumber yang pernah saya baca, dulu ada sebuah upacara
besar keagamaan yang pada waktu itu masih bercorak Hindu Budha. Dan upacara itu
dinamakan Kurban Raja.
Oleh kerajaan demak pada waktu itu yang sudah
beraliran islam ingin merubah tradisi dan kebiasaan rakyatnya agar segera
mungkin cara hidupnya diislamkan. Dengan berbagai gejolak dan pemikiran serta
strategi yang amat lama maka, oleh para wali Sembilan Sultan Demak di
perbolehkan meyelenggarakan tradisi rakyatnya asalkan disesuaikan dengan adat
dan syari’at islam. Do’a-do’a yang biasaya di gunakan dalam acara korban raja
segera di sesuaikan dengan do’a-do;a yang bercorak islami. Pun juga demikian
nama Kurban Raja di rubah menjadi “Sekaten”
dengan mengandung makna “Syahadatain”.
Sebagai bekal dakwah agar masyarakatnya masuk islam.
Setelah sekian lama berlanjut, kemudian setelah Raja
Kesultanan Demak meninggal maka kepemimpinannya digantikan oleh menantunya Jaka
Tingkir yang pada akhirnya mendirikan kerajaan sendiri di derah Pajang.
Demikian seterusnya hingga sampai pada tradisi adat dalam keraton Ngayogyokarto
Hadiningrat. Untuk detailnya masalah perjalanan Demak ke Pajang lalu berlanjut
sampai ke Yogyakarta yang hubungannya erat dengan asal usul kata “Sekaten” saya jujur dalam hal ini belum
bisa secara detail mengungakapkannya. Ini hanya sekedar informasi yang saya
dapatkan dari Jurnal terbitan fakutas saya.
Jadi pada intinya kata “Sekaten” yang banyak digunakan dalam perayaan dan upacara besar
keagamaan yang ada di Jawa, itu adalah hasil akultrasi budaya untuk
mengislamkan penduduk Demak pada waktu itu. Dan akhirnya meluas hingga ke
berbagai pelosok sampai sekarang. Dengan keluesan dakwah akhirya adat dan
kebiasaan masyarakat Hindu-Jawa pada waktu itu dapat berubah menjai unsur
keislaman. Namun tetap jati diri dan identias budaya tetap bertahan sampai
sekarang. Hingga lahirlah budaya dan tradisi Islam Kejawen yang tetap memegang
teguh syariah islam. Alangkah bijaksananya dan cerdasnya Raden Patah sebagai
raja pertama kerajaan islam untuk mendakwahkan islam di tanah Jawa. Sehingga
masyarakat jawa dengan senang hati tanpa adanya unsur kekerasan menjadikan jawa
islam. Subhanallah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar